Bagaimana cara menangani kencing bayi dan bekas najis? Kita lanjutkan pelajaran Manhajus Salikin kali ini.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata:
Bayi laki-laki yang belum mengonsumsi makanan atas dasar ketertarikannya (sudah jadi kebutuhannya, pen.), maka cukup bekas kencingnya diperciki sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلاَمِ
“Kencing bayi perempuan itu dicuci, sedangkan bayi laki-laki diperciki.” (HR. Abu Daud dan An-Nasa’i)[1]
Jika bentuk najis itu hilang, maka tempat yang terkena najis menjadi suci. Kalau ada bekas warna dan bau, maka tidaklah masalah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan pada Khaulah binti Yasar mengenai bekas darah haidh,
يَكْفِيكِ الْمَاءُ وَلاَ يَضُرُّكِ أَثَرُهُ
“Air tadi sudah menghilangkan najis tersebut, sehingga bekasnya tidaklah membahayakanmu.”[2]
Penanganan Kencing Bayi
Yang dimaksud ‘jariyah’ dalam hadits di atas adalah bayi perempuan yang masih dalam masa menyusui. Sedangkan ‘ghulam’ yang dimaksud adalah untuk anak laki-laki hingga berusia baligh, namun kadang juga dimaksudkan untuk bayi laki-laki yang masih menyusui.
Adapun yang dimaksud ‘yughsalu’ adalah membanjiri air pada pakaian yang terkena kencing. Inilah yang diperlakukan pada bekas kencing bayi perempuan. Sedangkan bayi laki-laki cukup diperciki atau disebut dalam hadits dengan ‘yurosysyu’, dalam lafazh lain disebutkan dengan ‘yundhohu’, juga sama artinya diperciki. Maksud diperciki di sini adalah tidak membuat sampai air tersebut mengalir. Demikian keterangan dalam Minhah Al-‘Allam, 1:124 karya Syaikh ‘Abdullah Al Fauzan.
Beberapa faedah dari hadits di atas:
1- Hadits di atas menunjukkan penanganan yang berbeda antara kencing bayi laki-laki dan kencing bayi perempuan. Keduanya sama-sama menggunakan air, namun cara penyuciannya yang berbeda. Kencing anak laki-laki cukup diperciki pada tempat atau pakaian yang terkena kencing. Dalam hadits lain dari Ummu Qois binti Mihshon, bahwasanya ia datang dengan anak laki-lakinya yang masih kecil dan anaknya tersebut belum mengonsumsi makanan. Ia membawa anak tersebut ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau lantas mendudukkan anak tersebut di pangkuannya. Anak tersebut ternyata kencing di pakaian beliau. Beliau lantas meminta diambilkan air dan memercikkan bekas kencing tersebut tanpa mencucinya.[3] Sedangkan kencing bayi perempuan tetap dicuci seperti kencing lainnya.
2- Anak laki-laki yang kencingnya diperciki adalah yang belum mengonsumsi makanan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Ummu Qois di atas. Syaikh Muhammad Al ‘Utsaimin mengatakan bahwa makanan yang dikonsumsi sudah menggantikan susu (ASI) atau lebih dari itu. Adapun jika makanan sudah jadi kebutuhan yang lebih dari ASI, maka tetap dianggap ia sudah jadikan makanan sebagai kebutuhannya dan makanan itulah yang dimenangkan. Lihat Fath Dzi Al-Jalali wa Al-Ikram, 1: 214.
Bukan dimaksud di sini bahwa bayi tersebut tidak mengonsumsi makanan sama sekali karena ketika lahir pun ia sudah diberi obat, gula, dan ditahnik dengan kurma. Namun jika bayi tersebut sudah mengonsumsi makanan secara rutin walaupun kadang-kadang masih mengonsumsi ASI, tetap kencingnya dianggap seperti kencing orang dewasa yang mesti dicuci, tidak cukup diperciki.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Kencing bayi laki-laki diperciki selama ia masih menyusui. Adapun jika ia sudah mengonsumsi makanan sebagai kebutuhan pokoknya, maka wajib kencing tersebut dicuci tanpa ada perselisihan di antara para ulama.” (Syarh Shahih Muslim, 3:174).
3- Kencing bayi laki-laki diperlakukan berbeda dengan bayi perempuan karena beberapa alasan:
a- Bayi laki-laki lebih sering dimomong (digendong), maka seringnya kencingnya ditemukan sehingga diperingan dengan cukup diperciki dan tidak dicuci.
b- Bayi laki-laki tidak kencing di satu tempat saja, namun bisa berpindah-pindah. Hal ini berbeda dengan kencing bayi perempuan.
4- Hadits ini tidak menunjukkan bahwa kencing bayi laki-laki tidak najis. Kencing tersebut tetap najis namun cara penyuciannya yang berbeda. Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Sebagian ulama Syafi’iyah menukil adanya ijma’ akan najisnya kencing bayi laki-laki. Para ulama tidak berselisih pendapat dalam hal ini kecuali Daud Azh-Zhahiri.” (Syarh Shahih Muslim, 3: 173).
5- Hadits ini dipahami bahwa selain kencing -semisal kotoran bayi- diperlakukan seperti najis lainnya. Yang dibedakan di sini hanyalah dalam penyucian kencing.
Bekas Najis
Jika bentuk najis itu hilang, maka hilanglah hukum. Tempat yang sudah bersih dari bentuk najis dianggap suci walaupun ada bekas warna atau bau setelah dicuci. Contoh yang dibicarakan adalah tentang darah haidh dalam hadits di atas. Di sini diketahui bahwa pakaian yang terkena darah haidh menjadi suci ketika dicuci walaupun ada bekasnya. Lihat Ghayah Al-Muqtashidin, 1:76.
Semoga meraih ilmu yang bermanfaat.
—
[1] HR. Abu Daud, no. 376 dan An-Nasa’i, no. 305. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
[2] HR. Abu Daud, no. 365 dan Ahmad, 2:364. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[3] HR. Bukhari, no. 223 dan Muslim, no. 287.
Referensi:
- Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim. Cetakan pertama, Tahun 1433 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar Ibnu Hazm.
- Fath Dzi Al-Jalali wa Al-Ikram bi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1425 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Madarul Wathan.
- Ghayah Al-Muqtashidin Syarh Manhaj As- Salikin. Cetakan pertama, Tahun 1434 H. Ahmad bin ‘Abdurrahman Az-Zauman. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
- Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan ketiga, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
- Syarh Manhaj As-Salikin. Cetakan ketiga, Tahun 1435 H. Dr. Sulaiman bin ‘Abdillah Al-Qushair. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj. hlm. 44-45.
—
Disusun di Perpus Rumaysho, 22 Muharram 1439 H
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com